Mengenali Potensi
Entrepreneurship dalam diri setiap orang dan mengembangkannya.
Setiap orang adalah entrepreneur
Setiap orang adalah entrepreneur
Frasa potensi dalam sub judul di atas
dipakai dalam pengertian ada tidaknya jiwa entrepreneur dalam diri setiap orang
Kristen, khususnya anggota jemaat. Bila tidak ada potensi atau kemampuan
entrepreneur dalam diri orang Kristen maka kepemimpinan entrepreneurship
Kristen yang akan dibahas tidak akan berguna, akan tetapi bila ada potensi entrepreneur dalam diri
setiap orang Kristen maka sangat relevan untuk meneliti tentang kepemimpinan
entrepreneur Kristen.
Maksud yang terkandung dalam alinea di
atas menegaskan bahwa pembahasan tentang entrepreneur menjadi demikian relevan.
Untuk itu perlu landasan argumentasi untuk membuktikan bahwa ada potensi
entrepreneur dalam diri setiap orang Kristen, khususnya warga jemaat. Dasar
argumentasi bahwa setiap orang Kristen atau anggota jemaat memiliki potensi
entrepreneur didasarkan pada dasar teologis dan teoritis yang dikemukakan
sebagai berikut.
Berdasarkan hasil studi etimologis dan
berbagai definisi konseptual dari beberapa ahli tentang entrepreneur yang
intinya menekankan tentang ”inovasi” dan ”kreativitas” sebagai ciri seorang
entrepreneur maka dipastikan bahwa semua orang memiliki kemampuan entrepreneur.
Jauh sebelum penggunaan kata entrepreneur yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan kata ”wirausaha”, Alkitab telah menegaskan bahwa Allah adalah
sang entrepreneur yang memberi kemampuan entrepreneur dalam diri manusia yakni
menciptakan manusia (Adam dan Hawa) segambar dan serupa dengan Allah (bnd.
Kej. 1: 28). Allah adalah sang
entrepreneur utama dan pertama. Dikatakan demikian karena Allah menciptakan
langit dan bumi dari yang tiada menjadi ada. Ia adalah pencipta, Inovator dan
kreator. Oleh karena Allah adalah sang entrepreneur utama dan pertama maka Ia
menciptakan manusia dengan kemampuan entrepreneur sebagaimana yang dapat
dipahami dalam kata ”segambar” dan ”serupa”. Menurut William W. Menzies dan
Stanley M. Horton, kata gambar (Ibr. tselem) digunakan untuk patung dan model kerja. Jadi
menurut kedua ahli ini, penggunaan kata gambar secara tidak langsung menyatakan
bahwa di dalam diri manusia terdapat pencerminan sesuatu yang berkaitan dengan
sifat dasar Allah. Sedangkan kata ”rupa” (Ibr. demuth) digunakan untuk pola,
bentuk atau ukuran yang adalah sesuatu seperti Allah pada diri mereka. Kedua
teolog di atas melanjutkan komentarnya dengan menyatakan bahwa Adam dan Hawa
dicipta dalam kesempurnaan tetapi tetap ada perbedaan antara pencipta dan yang
dicipta, manusia makhluk terbatas dan bergantung pada Allah. Gambar Allah dalam
diri manusia terdiri atas gambar alamiah dan moral, dan bukan dalam arti
segambar dalam pengertian fisik.[1]
Pendapat terakhir di atas juga didukung
oleh teolog Paul Enns, menurutnya, gambar dan rupa merupakan istilah yang tidak
menunjuk secara fisik karena Allah adalah Roh (bnd. Yoh. 4:24), menurut Enns,
kata gambar dipakai dalam pengertian keserupaan dalam spiritual, natural dan
moral. Dalam keserupaan manusia (Adam dan Hawa)
secara natural, menegaskan bahwa manusia memiliki akal budi, emosi, dan
kehendak untuk mengetahui dan berkomunikasi dengan Allah.[2]
Paul Enns mengutip pandangan E. Brunner yang menyatakan bahwa manusia adalah
yang sama sekali berbeda dengn binatang. Perbedaan itu terletak pada rasio,
kebebasan dan daya cipta manusia.[3]
Oleh kemampuan rasio, kebebasan dan daya cipta yang ada pada manusia memampukan
manusia untuk melakukan apa yang disebut dengan entrepreneur (kemampuan
inovasi, kreasi dan kemampuan menangung resiko/berani menghadapi resiko sebagai
ciri entrepreneur).
Seorang teolog Baptis, Millard J.
Erickson, menyimpulkan pengertian manusia sebagai gambar dan rupa Allah dalam
enam (6), salah satunya yang cocok dengan entreprenur adalah kesimpulannya tentang
”gambar Allah” sebagai kekuatan-kekuatan kepribadian yang menjadikan
manusia, seperti halnya Allah, mampu berinteraksi dengan pribadi yang lain,
mampu berpikir, dan merenung, serta
berkehendak dengan bebas.” Gambar Allah adalah sejumlah kemampuan yang
dibutuhkan untuk mewujudkan hubungan dan fungsi tersebut. Kemampuan-kemampuan
tersebut adalah kemampuan-kemampuan Allah yang, ketika tercermin di dalam
manusia, memungkinkan pemujaan, interaksi personal, serta pekerjaan dapat
terlaksana”.[4]
Kemampuan ini merupakan akibat atau penerapan dari gambar Allah. [5]
Pakar teolog yang lain seperti James Montgomery Boice menyatakan, salah satu
arti diciptakan menurut gambar Allah adalah Adam dan Hawa (Laki-laki dan
perempuan) memiliki atribut-atribut kepribadian yang Allah sendiri miliki,
tetapi yang binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan materi tidak miliki. Untuk
memiliki kepribadian, siapapun harus memiliki pengetahuan, perasaan (termasuk
perasaan-perasaan religius) dan suatu kehendak. Allah memiliki kepribadian,
demikianlah juga manusia.[6]
Berdasarkan kemampuan ini, Allah
menugaskan manusia pertam, Adam dan Hawa untuk ”mengusahakan” dan ”memelihara”
taman Eden (Kej. 2:15). Berdasarkan kedua teks ini dapat disimpulkan bahwa
manusia adalah mahluk ”kreatif” dan ”inovatif”.
Bila dikatakan bahwa Adam dan Hawa adalah mahluk inovatif dan kreatif
maka manusia zaman kini, termasuk anggota jemaat dari denominasi gereja manapun
adalah bagian dari keturunan dari Adam dan Hawa yang juga memiliki potensi
entrepreneurship.
Pemaparan
di atas tidak hanya sebatas Adam dan Hawa tetapi generasi Adam dan Hawa yaitu
manusia dari segala suku bangsa juga adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena ciptaan
Tuhan maka manusia masa kini dan masa yang akan datang adalah makluk yang
memiliki kemampuan entrepreneur. Segambar dan serupa ada pada setiap manusia
yang sejak kejatuhan tidak hilang tetapi dipengaruhi dosa sehingga segala yang
baik dalam diri manusia diarahkan pada kecenderungan yang jahat. Itulah
sebabnya gambar dan rupa Allah dipulihkan dalam pengorbanan Kristus.
Kemampuan
entrepreneur sebagaimana yang ditinjau secara teologis dalam paparan di atas
searah dengan teori umum entrepreneur yang dikemukakan oleh Hendro, Menurut
Hendro,
semua orang bisa
menjadi entrepreneur dan menemukan jenis entrepreneurship yang sesuai dengan
minat dan passionnya sendiri. Tidak ada orang yang tidk bisa sukses menjadi
entrepreneur yang kaya di usia muda, namun yang perlu diencanakan, dikuasia dan
dipahami adalah bagaimana cara membesarkn bisnis serta teguh pada pendirian
bahwa suatu saat pasti sukses. Ingat, jangan mundur bila anda telah memutuskan
karena kegagalan itu muncul di saat anda ragu memutuskan. [7]
Point penting
yang dipertegas dalam pendapat Hendro, penulis buku Dasar-dasar Kewirausahaan
adalah penekakannya pada “semua orang bisa menjadi entrepreneur” dan
jenis-jenis entrepreneur yang sesuai dengan minat dan passionnya sendiri. Ini
berarti anggota jemaat dapat dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kepemimpinan
entrepreneur yang mampu mengarahkan jemaat sehingga memberdayakan entrepreneur
yang sesuai dengan kesukaan anggota jemaat.
Jadi, potensi setia orang untuk
berpikir kreatif sebenarnya sudah ada. Dikatakan demikian karena setiap orang
adalah makluk ciptaan Tuhan yang segambar dan serupa, memiliki potensi
entrepreneur (berpikir kreatif). Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang
menghasilkan kreativitas. Kreativitas tidak selalu menghasilkan produk konkrit,
tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan, diantaranya berupa ide. Mustahil bila
seseorang tidak mempunyai ide. Ide tersebut menghantar setiap orang pada
kreativitas. Kreativitas sangat penting untuk menyiasati segala keterbatasan
yang dihadapi setiap orang Kristen, kreativitas tersebut menolong setiap orang untuk
memecahkan masalah pada berbagai aspek kehidupan, sekaligus menghasilkan
peluang atau karya baru untuk memudahkan kehidupan manusia. Sebenarnya, sejak
dilahirkan setiap orang memiliki daya kreativitas yang cukup tinggi dalam
DNA-nya. Tetapi masalah yang terjadi yakni tekanan hidup seiring proses
pertambahan usia ternyata menekan daya kreativitas tersebut. Stres akibat
mengalami tantangan kehidupan sehari-hari maupun dilema, membuat daya
kreativitas seseorang berangsur kering. Namun daya kreativitas itu ternyata
juga dapat diasah dan kembali ditingkatkan melalui kemampuan menciptakan tujuan
yang jelas, agar dapat menghasilkan ide-ide yang jelas juga. Setelah itu, fokus
dalam melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tersebut.
[1]William W. Menzies dan Stanley M.
Horton , Doktrin Alkitab (Malang : Gandum Mas,
2003), hlm. 84-85
[2] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology Buku Pengantar Teologi (Malang :
Literatur SAAT, 2008), hlm. 44-45
[3] Theol. Diester Becker, Pedoman Dogmatika Suatu Kopendium Singkat
(Jakarta : BPK, 2001), hlm. 88
[4] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume II (Malang Gandum
Mas, 2003), hlm.93
[5] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume II (Malang Gandum
Mas, 2003), hlm.93
[6] James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya :
Momentum, 2011), hlm. 162-163
[7] Hendro, Dasar-dasar Kewirausahaan Panduan bagi Mahasiswa untuk Mengenal,
Memahami, dan Memasuki Dunia Bisnis, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm.537
0 comments:
Post a Comment